Si Boru Deak Parujar- Mitos Batak
![]() |
gambar ilustrasi si boru deak parujar |
Disiang yang terik, tiba-tiba Siboru Deak Parujar
menghentikan alat tenunnya. Pekerjaan sehari-hari Siboru Deak Parujar memang
lebih banyak bertenun. Selain bertenun, terkadang merasa lelah karena duduk berlama-lama
menyelesaikan tenunannya. Namun untuk melepaskan rasa lelah dia pergi ke bawah
pohon Tumburjati.
Pohon kehidupan itu terasa rindang bagi semua penghuni Banua
Ginjang atau kahyangan. Letaknya dari beberapa hunian di kahyangan tidaklah
sesunyi Porlak Sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan hal-hal rahasia.
Pohon Tumburjati kelihatan selalu ramai seperti ranting dan daunnya. Di sanalah
mereka mendapat pengetahuan atas berbagai hal, termasuk kodrat masing-masing.
Kalau daun Tumburjati gugur, semua penghuni kahyangan langsung dapat
mengartikannya. Daun-daunnya yang menangkup ke lapis langit pertama dan
tertinggi seakan memohon agar tidak gugur sebelum waktunya. Namun ada kalanya
dari daun termuda terpaksa jatuh bersama ranting yang patah.
Di puncak ketinggian pohon kehidupan itu hinggap seekor
unggas bernama Manuk Hulambujati. Tidak terbayangkan ketinggian pohon kehidupan
itu. Sehingga ada kalanya nama pohon itu disebut Hariara Sundung di Langit,
yang artinya beringin yang condong di langit. Manuk Hulambujati tentu selalu
hinggap di puncaknya pada waktu-waktu tertentu; di suruh atau tidak. Namun
unggas itu adalah induk tiga telur besar yang pernah mengandung Batara Guru
serta dua dewa lain yang bernama Debata Sori dan Mangalabulan. Suatu ketika juga
Manuk Hulambujati bersedia mengeramkan tiga telur lagi; kelak yang dikandungnya
adalah pasangan ketiga sang dewa. Siboru Parmeme menjadi pasangan Batara Guru,
Siboru Parorot untuk Debata Sori, dan Siboru Panuturi untuk Mangalabulan.
Siboru Deak Parujar adalah putri bungsu Batara Guru.
Berkali-kali pergi ke bawah rindang Tumburjati, Siboru Deak
Parujar selalu sempat melihat Manuk Hulambujati bertengger. Cara hinggap unggas
itu seperti cahaya bintang-bintang yang berkejaran. Moncongnya berpalang besi,
kukunya bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa nan
berkilau. Terkadang tanpa perduli Siboru Deak Parujar menghalau unggas itu agar
berkenan turun dan mau bercengkerama dengan dia.
“Wahai, Manuk Hulambujati. Mengapa engkau tak mau turun
untuk bersamaku di sini? ” Terketus ucapan itu dari Siboru Deak Parujar karena
sang unggas tak pernah turun dari puncak pohon. Sebenarnya dia tidak perlu
mengeluarkan ucapan serupa karena ada larangan dari Batara Guru. Manuk
Hulambujati benar-benar bukan sembarang unggas. Tidak ada yang dapat menyuruh
Manuk Hulambujati turun dari puncak pohon, kecuali Ompung Mulajadi Nabolon.
Ompung Mulajadi Nabolon, sebagai Sang Pemula Akbar dari
segala yang ada, telah mencipta dan menetapkan kodrat tertentu bagi Manuk
Hulambujati. Unggas itu merupakan salah satu suruhan Mulajadi Nabolon, di
samping nama lain seperti Leang-leang Mandi, Leang-leang Nagurasta, dan
Untung-untung Nabolon. Masing-masing diciptakan Mulajadi Nabolon sebelum
Tumburjati dan sesuai dengan fungsinya. Leang-leang Mandi atau layang-layang
mandi menjadi pelayan inti dan penyampai pesan kalau Manuk Hulambujati
membutuhkan bantuan Mulajadi Nabolon. Demikian kelak perannya bagi siapa yang
membutuhkan bantuan dari Mulajadi Nabolon. Sedangkan Leang-leang Nagurasta hanya
sahabat Leang-leang Mandi. Manuk Hulambujati ada kalanya mirip dengan
Untung-untung Nabolon. Manuk Hulambujati bagi semua penghuni kahyangan cukuplah
dipandang saja dari jauh dan saat bertengger karena fungsinya sudah selesai
mengawali kehidupan manusia di Banua Ginjang.
“Ibunda,” tiba-tiba Siboru Deak Parujar mendekat pada
ibunya. “Mohonlah terangkan mengapa daku tak bisa mengajak Manuk Hulambujati
bercengkerama.” Keingintahuannya masih bernada memaksa. Namun jawaban dari
Siboru Parmeme tetap seturut pesan yang mereka terima bersama Batara Guru.
“Jangan. Pantang. Awas terlanjur!” Itulah pesan keramat yang diterima untuk
menghormati Manuk Hulambujati.
Akhirnya Siboru Deak Parujar tak lagi memaksa diri. Pasti
dia tahu suatu waktu soal Manuk Hulambujati. Setiap kali kembali ke bawah
rindang Tumburjati, diam-diam dia mendengar cerita yang bisa muncul di situ.
Diapun lama-lama menjadi seperti penghuni yang lain di lapis kedua Banua
Ginjang. “Lebih baik kunikmati saja kebahagiaan seperti apa adanya di kahyangan
ini,” pikirnya. Perhatiannya pun semakin biasa memperhatikan keturunan dewa
lain. Maklum, Siboru Deak Parujar mulai remaja.
Suatu ketika dia terdorong kembali ke bawah pohon
Tumburjati. Namun tidak sendirian. Dia sengaja mengajak Siboru Sorbajati.
“Ayolah, kakakku. Temani aku menikmati suasana di bawah pohon Tumburjati.”
“Baiklah, adinda,” jawab si putri sulung atau anak kedua
Batara Guru itu. “Akupun sudah agak lama tidak ke sana.” Sebelum beranjak,
mereka berdua tak lupa merapikan letak hulhulan, penggulungan besar untuk
benang tenunan. Nampaknya mereka berdua sama-sama kurang bersemangat
mempersiapkan tenunan baru. Sebelum tiba di sekitar pohon Tumburjati, mereka
mulai memperbincangkan kelak pasangannya. Siboru Deak Parujar tidak berani
menunjuk siapa gerangan yang menarik hati dari antara keturunan dewa.
“Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa.
Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik daripada tidak ada.”
Begitulah kata Siboru Sorbajati dan meneruskan: “Seandainya ayah kita berkenan
juga menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga.”
Perkataan terakhir bagi Siboru Deak Parujar terasa
menyindir. Sudah lama nama tersebut ingin disingkirkannya. Namun Mulajadi
Nabolon sudah mengatur semua kalau keturunan ketiga dewa mengambil pasangan
dari antara mereka. Keturunan laki-laki Batara Guru mendapat pasangan dari
putri Debata Sori. Anak laki-laki Debata Sori dari Putri Mangalabulan.
Sedangkan anak Mangalabulan harus mendapatkan pasangannya dari putri Batara
Guru.
“Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak
Mangalabulan itu!” Siboru Deak Parujar melepaskan ketakutannya berpasangan
dengan Siraja Odap-odap. Siboru Sorbajati sebenarnya sudah pernah ditawarkan
perjodohan itu. Namun dia merasa lebih baik melompat dari balkon rumah dan
ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap. Tadinya dia
memang hanya ingin mengetahui perasaan adiknya.
“Baiklah kita tidak meneruskan langkah ke sekitar
Tumburjati. Mungkin Siraja Odap-odap sedang menunggu kita di sana.”
Mereka pun kembali meneruskan gulungan benang tenunnya
sampai memulai tenunan baru. Ktuk… ktuk… Ktukktukktuk! Ktuk… ktuk…
ktukktukktuk…. Berhari-hari dan berbulan-bulan.
Batara Guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi
untuk mendesak salah satu putrinya untuk dipersunting Siraja Odap-odap.
“Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru.
“Aku masih meneruskan tenunanku!” Sahut Siboru Deak Parujar.
Siboru Sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi panggilan Batara Guru.
Namun sebelum bertemu muka dengan sang ayah, dia sudah mendengar suara-suara
yang menanti di halaman rumah. Pikirnya, pasti mereka itu keluarga Mangalabulan
sambil menghantar Siraja Odap-odap. Lalu tanpa perlu ketemu lagi dengan Batara
Guru, Siboru Sorbajati benar-benar melakukan niatnya dengan melompat dari
balkon rumah sambil menyumpahi diri agar menjadi batang enau saja.
Kejadian itu mengejutkan keluarga Mangalabulan. Namun mereka
masih berharap dengan satu lagi putri Batara Guru.
“Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh
kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu
Siboru Deak Parujar.” Begitulah Mangalabulan menyampaikan harapan kepada Batara
Guru agar segera meresmikan perjodohan dengan anaknya, Siraja Odap-odap.
Mendengar harapan itu Batara Guru segera memanggil Siboru Deak Parujar.
“Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai,”
begitulah selalu reaksi Siboru Deak Parujar setiap kali Batara Guru
mendesaknya. Sampai-sampai Batara Guru mulai merasa malu kepada keluarga Mangalabulan.
“Selesai atau tidak tenunanmu,” tegasnya ke arah Siboru Deak Parujar, “engkau
harus bersedia menerima Siraja Odap-odap. Engkau tak perlu melihat rupa dan
mencari alasan.” Perkataan Batara Guru itu membuat Siboru Deak Parujar mulai
gemetar. Berkali-kali dia mencari alasan dengan tenunan yang belum selesai.
Besok hari sebelum matahari terbit Batara Guru memaksanya menikah dengan Siraja
Odap-odap.
“Ah!” desahnya dalam hati. “Simuka kadal itu dijodohkan jadi
suamiku?” Benar-benar dia tak mau terima. Lalu tekanan itu mendorong dia
merencanakan sesuatu. “Biarlah aku terjun seperti kakakku Siboru Sorbajati.”
Demikian dalam hatinya. Namun dia masih tetap berpikir ke mana akan terjun.
Sebelum ditemukan caranya untuk menyingkir besok hari, Siboru Deak Parujar
mengalihkan perhatian kembali pada tenunannya. Ktuk… ktuk…ktukktukktuk….
Sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi alat tenunnya
itu sambil menikmati. Tiba-tiba dia terpikir melemparkan hasoli, salah satu
dari alat tenunnya. Di dalam hasoli itu masih tergulung benang yang dipindah
dari hulhulan. Sebelum matahari terbit benar-benar akan dilemparkannya ke arah
tempat gelap.
Semalaman Batara Guru tetap berjaga agar putrinya tidak
melarikan diri. Tiba-tiba bunyi alat tenun Siboru Deak Parujar didengarnya
mulai berhenti. “Putriku, Deak Parujar!” Dicoba dari biliknnya memanggili.
Namun sekali saja Siboru Deak Parujar menyahut panggilan Batara Guru, dia sudah
bergayut pada benang yang menjulur entah sampai ke mana. Perlahan dia semakin
turun, nampaknya dunia bawah tidak jelas dan sangat gelap. Angin kencang dan
lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan. Angin kencang itu
membuatnya terayun-ayun dan hampir terlempar.
Sampai terang matahari sedikit menyinari bawah kahyangan
itu, dia melihat semuanya nun di bawah tanpa tempat berpijak. “Leang-leang
Mandi, Untung-untung Nabolon…!” Dipanggilnya pesuruh Mulajadi Nabolon itu
sambil berteriak. “Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah untuk tempatku
berpijak di bawah sana! Aku tak mau kembali ke Banua Ginjang.” Mulajadi Nabolon
tidak menolak permintaan Siboru Deak Parujar karena tidak ingin menghukum.
Namun ketika sekepul tanah yang dikirimkan Mulajadi Nabolon ditekuk Siboru Deak
Parujar, langsung terhamparlah tempat berpijak yang sangat luas dan menjadi
awal terjadinya bumi atau yang disebut Banua Tonga.
Belum sempat merasakan keberhasilan melarikan diri dari
Banua Ginjang dan mencipta Banua Tonga, Siboru Deak Parujar tiba-tiba merasa
oleng dan terlempar ke bumi yang dipijaknya. Dia merasa tanah yang ditekuknya
itu cukup tipis dan tidak kukuh. Dia ingin memanggil Leang-leang Mandi. Namun
suaranya tertahan karena guncangan besar. Guncangan itu menghancurkan bumi yang
ditekuknya. Seekor raksasa besar bernama Naga Padoha ternyata si pelaku
guncangan besar itu. Entah bagaimana caranya Naga Padoha sekonyong-konyong
dapat berada di bawah tanah sebelum melakukan guncangan besar. Konon Naga
Padoha dianggap masih dari garis Mangalabulan dan pernah frustrasi disebabkan
jodohnya tak pernah berhasil dengan Nai Rudang Ulubegu. Mungkin juga Naga
Padoha merasa lebih baik melamar Siboru Deak Parujar.
“Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan kembali sekepul
tanah lewat pesuruhmu Leang-leang Mandi!” Permohonannya itu tidak lama sampai
untuk ditekuk kembali, lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala. Tutup
kepala itu untuk dipakai Siboru Deak Parujar menghindari terik delapan matahari
yang diciptakan Mulajadi Nabolon untuk sementara mengeringkan banjir air di
Banua Tonga. Sedangkan sebilah pedang itu digunakan untuk menaklukkan Naga
Padoha.kalau guncangan besar masih selalu dilakukan. Pedang itu sempat
ditancapkanya ke bagian kepala Naga Padoha ketika tekukan kedua itu beberapa
saat masih diganggu.
Bumi sudah tercipta oleh Siboru Deak Parujar. Naga Padoha
pun sudah ditaklukkan. Begitupun, sesekali Naga Padoha masih akan mengguncang
dari Banua Toru, tempat segala kegelapan, kejahatan, dan kematian yang dikuasai
iblis itu. Namun penangkal untuknya sudah cukup dilakukan oleh Siboru Deak
Parujar dengan cukup menyerukan: “Suhul! Suhul!” Artinya meneriakkan gagang
pedang itu saja Naga Padoha akan merasa takut dan segera menghentikan
guncangan.
Terciptanya Banua Tonga oleh Siboru Deak Parujar membutuhkan
jenis-jenis kehidupan lain. Lalu dia masih melakukan permintaan kepada Mulajadi
Nabolon agar mengirimkan bibit-bibit tumbuhan dan hewan. Mulajadi Nabolon
memasukkan semua bibit itu ke dalam potongan batang bambu sebelum Leang-leang
Mandi melemparkan ke hadapan Siboru Deak Parujar. Namun satu hal di antara
segala jenis bibit itu, Siboru Deak Parujar tidak mengetahui satu hal. Dia baru
tahu kemudian setelah semua jenis bibit itu disebar ke seluruh penjuru, di
antaranya bercampur jasad Siraja Odap-odap yang dicincang teramat kecilnya.
Menunggu tiba waktu dan rasa kesepian muncul dalam diri Siboru Deak Parujar,
jasad Siraja Odap-odap yang terberai itu menyatu kembali atas perkenan Mulajadi
Nabolon. Dihampirinya Siboru Deak Parujar di sebuah pancuran yang dihalangi
rimbun tetumbuhan. “Ohhh!” Siboru Deak Parujar hanya terkejut sejenak.
Pertemuan Siboru Deak Parujar dengan Siraja Odap-odap di
Banua Tonga tak bisa lagi ditolak. Mulajadi Nabolon memberkati mereka hingga
melahirkan manusia pertama di bumi. Manusia pertama itu adalah Raja Ihat
Manusia dan pasangannya bernama Itam Manusia. Setelah melahirkan manusia itu
Siboru Deak Parujar dan Siraja Odap-odap harus kembali ke Banua Ginjang. Mereka
naik ke Banua Ginjang melalui seutas benang. Sempat manusia di bumi itu terikut
menaiki benang. Namun kemudian terputus. Perpisahan ini sungguh menyedihkan.
Namun Siboru Deak Parujar masih berujar kepada Raja Ihat Manisia: “Kalau kalian
rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan. Di situlah aku kelihatan kembali
bertenun.”
Bebagai Sumber
Legenda yang menarik disimak dan ... Wow ..., aku kesengsem sama jenis kain etnik yang digunakan model ilustrasi.
ReplyDeleteMaklum, aku suka kain etnik :)
Kujawab sendiri aaakh .. soqlnyq ngga dibalas komenku.
DeleteSetelah disulap jadi bahasa Indonesia, jadi tau sekarang manuk artinya burung.
Sama juga kayak di Jawa ��
Aduh sorry Om, agak sibuk dikit di dunia nyata
Delete