Petuah Leluhur Batak yang Tetap Relevan
Petuah Leluhur Batak yang Tetap Relevan
"Ijuk di parapara, hotang di parlabian. Nabisuk nampuna
hata, naoto tu panggadisan."
Itu petuah klasik Batak. Harafiahnya: Orang yang pandai akan
menguasai kata, sementara orang bodoh akan diperjualbelikan.
Makna yang lebih luas: Hanya orang yang memiliki kepandaian
atau kecerdasanlah yang memiliki kekuasaan, kekayaan, pengaruh; sementara,
orang yang bodoh akan terus jadi korban atas kebodohannya.
"Peringatan" yang entah abad berapa dulu
disuarakan leluhur orang Batak tsb, ternyata tetap relevan dan aktual sampai
sekarang dan seterusnya, tentu.
Halak nabisuk, orang yang pintar dan memiliki kecerdasan,
faktanya memang bisa menguasai apa saja, berpengaruh kuat di semua bidang dan
lapisan sosial. Mulai dari perekonomian hingga politik-kekuasaan, bahkan aspek
kebudayaan serta keagamaan.
Penemuan teknologi hanya dilakukan orang-orang yang memiliki
kepandaian atau kecerdasan. Pengembangan industri apa saja, digerakkan orang-orang pintar. Karya-karya
besar di bidang pemikiran dan kesusasteraan maupun kebudayaan, lahir dari
orang-orang yang berpikir pula. Begitu halnya ideologi-ideologi yang bermacam,
berasal dari orang-orang yang memiliki kelebihan di bidang pemikiran.
Teknologi modern nan canggih yang dinikmati masyarakat bumi
seperti sekarang ini, semua diciptakan orang-orang pintar. Perekonomian hingga
persenjataan pun demikian. Sistem keuangan dunia dikendalikan orang-orang
pandai, perseteruan dua negara raksasa macam RRC versus AS pun sebenarnya
perang antara orang-orang pintar yang karena kepintaran mereka jadi memiliki
kekuatan raksasa selain berkecenderungan hegemonis dan egoistis.
Orang-orang pintar tersebut hanya mengandalkan otak hingga
kemudian melahirkan karya dan penemuan (invent) di berbagai bidang, mulai dari
teknologi komunikasi, transportasi, hingga pengobatan. Mereka dayakan otak
terus-menerus dengan melakukan riset, kajian, uji coba, sampai menemukan yang
diinginkan.
Dari tiap penemuan, kemudian melahirkan nilai ekonomi.
Berkembang pula ilmu ekonomi, marketing, networking, distribusi, pasar, untuk
menjual hasil penemuan yang diproduksi dan menghasilkan uang. Para penemu seolah
tiada puas memperbarui, semakin efisien, semakin canggih, semakin menarik bagi
masyarakat dunia.
Negara-negara yang memiliki banyak orang pintar itulah yang
akhirnya menguasai industri, lalu memasuki pasar negara-negara yang tak mampu
atau belum mampu menghasilkan produk yang ditawarkan dan dibutuhkan, sebut apa
saja yang digunakan atau dibutuhkan orang-orang sehari-hari.
Bahkan kitab-kitab agama yang dibutuhkan masyarakat beragama
pun merupakan karya cipta para orang pintar. Mesin tulis, mesin cetak, dan
kertas (kini mulai diganti medium digital) berisikan ayat-ayat suci dan ajaran
agama, merupakan ciptaan orang-orang yang memiliki kepandaian, yang ditemukan
dari hasil kerja otak.
Masyarakat di negara-negara nonindustri (teknologi) cuma
bisa jadi konsumen, yang harus membeli dan mengikuti syarat yang diajukan
produsen (antara lain, tak boleh menjiplak atau mencuri hak kekayaan
intelektual/HAKI yg diproteksi badan PBB bernama WIPO, perlu izin dari pemilik
HAKI dan itu harus bayar).
Negara-negara yang tidak memberdayakan otak, tak memberi
dukungan maksimal dan penghargaan yang layak bagi orang-orang pintar dan
cerdas, tak mengembangkan dunia pendidikan dan riset dengan serius, akhirnya
hanya bisa jadi pembeli atau konsumen. Uang besar mengalir ke negara-negara
yang dipenuhi orang pintar dengan dukungan penuh pemerintah masing-masing.
Jepang dan Korea Selatan, bisa menjadi negara supermakmur
walau sumberdaya alam minim. RRC yang saat ini disebut salah satu penentu
ekonomi dunia, memiliki segalanya. Tetapi, karya otak manusia atau kepintaran
dan keahlianlah yang diperkuat ketiga negara di Asia tersebut. Mereka bangun
kampus-kampus dan laboratorium modern, menerbitkan dan mencetak buku-buku
(asing maupun domestik) besar-besaran, mendukung penuh akademisi dan pakar,
menghormati pengarang/penulis agar bergairah meneliti dan menulis.
Output dari semua yang dilakukan negara-negara industri yang
dipenuhi orang pintar itu, tiada lain:
uang. Orang Batak bilang: Hepeng yang mengatur negara, sebenarnya yang mengatur
dunia. Dengan kekuatan uanglah AS dan RRC mengatur pegerakan bisnis dan moneter
masyarakat dunia, kini. Krisis moneter bisa menimpa suatu atau beberapa negara
bila para pemain finansial internasional "jahil" menggoreng bursa uang atau saham di pasar-
pasar global. Suku bunga kredit atau obligasi di Amerika mengalami fluktuasi
pun bisa berimbas ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Para investor dan bankers serta pemain finansial
internasional pula yang acap merepotkan dunia usaha dan perekonomian suatu
negara. Pendeknya, para pemilik uang dan industri itu, bisa melakukan apa
saja--selain mempertahankan nyawa (Steve Jobs, pemilik Apple, meski duitnya
puluhan atau ratus triliun rupiah, toh tak bisa melawan penyakit kanker
pankreas yang akhirnya mengakhiri hidupnya).
Tetapi, suka atau tidak, hegemoni dunia atau di lingkaran
kecil manusia, orang pintar, halak nabisuk, memang yang berjaya.
Politisi-politisi yang ingin duduk di kursi kekuasaan, bisa membeli suara
rakyat, mendirikan dan menguasai parpol, karena kuasa uang dan kemampuan
menaklukkan rakyat yang lugu atau butuh uang seratus dua ratus ribu rupiah.
Orang bodoh atau lugu pula yang jadi sasaran empuk para
agamawan yang bermotif manipulatif. Memukau umat/jemaat dengan lagak orang suci
yang amat paham sorga, membuat pengikut seperti terbius.
Maka, petuah atau peringatan leluhur orang Batak itu, tetap
relevan dijadikan pengingat, setidaknya agar tidak jadi korban akibat keluguan
atau kemalasan berpikir.
By: Suhunan Situmorang
0 Response to "Petuah Leluhur Batak yang Tetap Relevan"
Post a Comment