Memandang dunia bukan hanya dari sudut agama
Musafir yang Senantiasa Haus...
Wabah Covid-19 ini sampai kapan? Pertanyaan tsb--meski tak
selalu terucap--pasti mengisi pikiran hampir semua orang di bumi ini.
Tak ada kepastian. Belum ada vaksin yang diakui semua pakar
kesehatan. Karena itulah "temuan-temuan" (invent) yang tak bisa
dipertanggungjawabkan sesuai kaidah-kaidah sains, bermunculan--dan konyolnya
ada saja yang percaya.
Peristiwa yang masif mengancam jiwa masyarakat planet ini,
memang bukan sesuatu yang baru. Sejarah dunia modern mencatat beberapa petaka
akibat pandemi yang menewaskan jutaan manusia.
Korban Covid-19 belum sebanyak korban pandemi yang pernah
terjadi di Eropa atau di berbagai belahan dunia. Tetapi, karena kemajuan media
dan teknologi komunikasi serta alat transportasi, penyebaran dan daya cekamnya
melampaui yang pernah dipikirkan sebelumnya, atau malah belum pernah
dibayangkan warga dunia.
Covid-19 harus dihadapi sebagai realitas yang menakutkan. Entah
sampai kapan sirna, atau mungkin sebagaimana diperkirakan para ahli kesehatan
mancanegara, tak akan bisa punah. Manusialah yang harus menyiapkan diri supaya
tak jadi korban dengan mengikuti aturan atau protokol yang ditentukan--dan
mungkin akan ditambah.
Sebagai insan biasa dan mengaku lemah dalam pelbagai hal, aku
pun hanya berupaya menerima realitas. Menyadari bahwa ancaman itu riil, bukan
karang-karangan atau konspirasi belaka--siapa pun mereka.
Sialnya, aku kerap gagal membangun optimisme: bahwa wabah ini
akan selesai pada suatu saat. Bayangan kesuraman dan dunia yang tak bisa lagi
sebergairah sebelumnya, acap menekan, menjadi problema psikologis. Itu sungguh
mengintimidasi.
Kadang muncul semacam kepasrahan, berserah sesuai iman
kepercayaan. Namun, jalan eskapisme, ternyata tak selalu mujarab. Bayangan
dunia yang kelabu masih saja mengganggu.
O, betapa aku tak perkasa, ternyata. Juga iman yang rapuh.
Di tengah kesadaran atas ketidakberdayaan (atau kerapuhan), juga
peristiwa-peristiwa yang menyedihkan bisa terjadi esok lusa,
"syukurlah", masih ada gairah mengisi lembaran-lembaran hidup dan
keber-ada-an. Setidaknya, tak ingin turut penambah soal bagi manusia lain.
Aku masih sangat ingin berkisah, berwacana, mengabarkan dunia
yang sungguh unik dan kaya budaya serta panorama. Dunia yang amat luas dan tak
melulu dipandang dari kacamata agama. Dunia yang menyimpan sejumlah tragedi dan
tumpahan airmata, namun toh masih bisa menyunggingkan senyum, bahkan meledakkan
tawa.
Covid-19 atau peristiwa yang menakutkan dan belum terjadi, tak
akan mampu menghapus total gairah meneruskan hari-hari selanjutnya. Esok
merupakan ketidaktahuan yang menyisipkan harapan.
Aku pun masih ingin bertutur dan berkisah melalui catatan, foto,
ujaran verbal, atau nyanyian. Juga menyampaikan kekecewaan--dan
kemarahan--bersebab melesetnya harapan serta idaman, khususnya pada orang-orang
yang dipercaya: penyelenggara negara yang tak becus dan koruptif; rohaniawan
yang menyelewengkan harapan umat; dsb.
Aku masih ingin sebagai musafir yang mengembara ke mana jiwa
meminta. Membawa gelisah dan sejumlah tanya yang tak harus dapat jawaban yang
memuaskan. Seperti kerongkongan yang didera dahaga di gurun penuh bukit batu.
Haus tak pernah lenyap walau hari ini telah meminum banyak air.
0 Response to "Memandang dunia bukan hanya dari sudut agama"
Post a Comment