Filosofi Membaca [menambah kata, memperdalam makna, meluaskan paradigma]
![]() |
(sumber:pixabay) |
Membaca: menambah kata, memperdalam makna, meluaskan paradigma
Seorang teman yg mendalami linguistik yg juga munsyi, Muna Panggabean, pernah meminta saya menulis untuk dimuat di satu portal: Kenapa umumnya pria Batak yang disebut "raja parhata" atau juru bicara dalam suatu kenduri adat-marga atau dalam acara keagamaan, begitu miskin kata. Bahasa Indonesia yg digunakan memang lebih banyak terjemahan Bahasa Batak ke Bahasa Indonesia. Kosa kata terbatas dan itu menjengkelkan.
Saya spontan terbahak, walau sampai sekarang belum memenuhi
permintaan perempuan cerdas yg intoleran pada kepandiran itu.
Tetapi, sebenarnya limitasi bahasa atau minimnya
perbendaharaan kata bukan hanya terjadi pada masyarakat Batak, pula menyeluruh
pada semua masyarakat Indonesia atau penghuni Nusantara--terutama saat
berbahasa Indonesia.
Hipotesis saya, karena tradisi atau habit membaca tak kuat.
Kebiasaan verbal lebih dominan sejak nenek moyang. Budaya literal bukan budaya umumnya
masyarakat. Maka, ketika komunikasi ditransformasikan ke "bahasa
umum" yg berlaku nasional, repetisi dan kegagapan tutur menjadi problema.
Perhatikanlah pernyataan, pidato, atau retorika pejabat
negara, penguasa daerah, wakil rakyat, atau tokoh-tokoh masyarakat (termasuk
rohaniawan atau agamawan), selain sering bertele-tele, tidak sistematis,
penggunaan kata sifat, kata kerja, atau kata keterangan, sering keliru.
Ironisnya, para pekerja media dan juga para cendekiawan, pun
melakukan hal yg sama. Hanya sedikit media yg menyajikan teks dng baik dan
menarik dan efisien menggunakan kata. (TEMPO salah satu).
Umumnya memindahkan bahasa lisan ke dalam bahasa tulis, yg
selain menjemukan, pula dangkal. Media-media daerah--seperti Sumut--contohnya,
para pewarta sering kali memindahkan bahasa verbal menjadi bahasa literal.
Ucapan atau pernyataan para elite negara pun tak jauh beda,
sering bermakna ganda, ambigu, ide atau pesan kabur, selain terjebak
eufemisme--khas pejabat masa Orde Baru.
Belum seumur jagung pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta berkuasa, masyarakat telah mereka buat berkali-kali mengerutkan kening
karena kesulitan memaknai pernyataan atau kata-kata mereka. Itu satu contoh
faktual.
Keterbatasan kata, kemiskinan teknik berkomunikasi, kegagapan
menyampaikan tanggapan, itu pula kelemahan utama mantan Gubernur Jakarta,
Basuki T. Purnama (Ahok). Petaka yg dialaminya bersebab dari situ pula, anda
telah paham, setuju atau tidak dng pendapat ini.
Kemiskinan kata dan kelemahan berbahasa (terutama narasi
dalam bentuk teks) terjadi di semua aspek dan bidang pekerjaan--yg
mengakibatkan kesulitan atau jadi masalah bagi masyarakat luas.
Bahasa aparat dan profesional hukum, misalnya, bukan hal yg
mudah dipahami masyarakat yg awam hukum. Membaca BAP buatan polisi penyidik,
dakwaan jaksa, pembelaan advokat, putusan hakim, juga kontrak atau akta
notaris, tidak saja menuntut pengetahuan hukum, juga kesabaran dan kemampuan
meredam kejengkelan.
Entah kenapa harus ditulis bertele-tele, sering pengulangan,
anak kalimat (clause) dan paragraf berpanjang-panjang hingga melelahkan
pembaca, selain kesalahan-kesalahan elementer tata bahasa yg sejak SD
(sebenarnya) telah dipelajari.
Dan, kehadiran medsos yg kian mudah dipakai atau dimiliki
semua lapisan masyarakat, kian memperlihatkan problema berbahasa. Timeline atau
ruang linimasa tumpah ruah dipenuhi kata dan bahasa yg kacau, kasar, vulgar,
sedikit saja yg mementingkan kaedah berbahasa.
Medsos telah diakui (selain faedahnya) menimbulkan banyak
masalah. Tak hanya dijadikan saluran aspirasi atau relaksasi, pun jadi wadah
kebencian, permusuhan, kabar bohong, dan agitasi.
Medsos semakin memperjelas kemampuan berbahasa dan kadar
intelektualitas pengguna (warganet), dan barangsiapa tak siap menghadapi aneka
ragam teks (baik berupa status, pernyataan, atau tanggapan) akan frustrasi dan
kemudian menarik diri.
Konon, itulah konsekuensi dan bahkan risiko bagi pengguna
media maya. Terlalu liar dan sulit dikendalikan sebab mustahil menyeleksi
"teman virtual" yg dianggap setara, selevel, sama aspirasi, atau
setidaknya tak menemukan yg menjengjelkan karena pernyataan atau komentar. Itu
sulit dihindari mengingat prinsip dasar medsos yg terbuka dan tak mengenal
syarat tertentu (kecuali bagi pengguna yg sejak awal selektif memilih tawaran
pertemanan).
Dampaknya, sayang sekali, setidaknya dari yg saya
perhatikan, para pengguna Facebook yg dulu senang membagikan narasi menarik,
bermutu, walau hanya menulis topik atau pengalaman sederhana dan jamak terjadi,
semakin menjauhkan diri. Mereka bahkan banyak tak aktif lagi, boleh jadi karena
merasa terganggu atau mungkin frustrasi--akibat keseringan menemukan yg
dianggap "bukan komunitasnya" atau bahasa sombongnya: Nggak level.
By:Suhunan Situmorang
❤️❤️❤️ Very great article this is worth reading
ReplyDeletekeren, saling belajar ya hehe
ReplyDelete