Benarkah Nyai Roro Kidul adalah Boru Biding Laut yang berasal dari tanah Batak?
Legenda-legenda tentang Nyai Roro Kidul pada umumnya berasal dari kesultanan Mataram Islam pada abad ke-16. Namun ada juga cerita-cerita yang menunjukkan bahwa legenda serupa sudah terjumpa pada masa Pakuan Pajajaran di abad ke-15.
Dalam buku Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa (2009),
penulis K. H. Muhammad Sholikhin, yang menyelesaikan studi tentang
spiritualitas Jawa di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Salatiga dan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, mencatat setidaknya ada paling
sedikit enam macam kisah tentang Nyai Roro Kidul.
Salah satu kisah-kisah tersebut yang dicatat K. H. Muhammad
Sholikhin mengaitkan Nyai Roro Kidul dengan legenda Biding Laut dari
sejarah kebudayaan Batak:
![]() |
Nyai Roro Kidul |
Dikisahkan, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua orang putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan kedua diberi nama Raja Isumbaon. Putra sulungnya, yakni Guru Tatea Bulan memilik 11 anak (5 putra dan 6 putri). Kelima putra bernama: Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam putri bernama: Biding Laut, Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si Bunga Pandan.
Putri tertua yakni Biding Laut memiliki kecantikan melebihi
adik perempuan lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah dan santun kepada
orangtuanya. Karena itu, Biding Laut tergolong anak yang paling disayangi kedua
orangtuanya. Namun, kedekatan orangtua terhadap Biding Laut ini menimbulkan
kecemburuan saudara-saudaranya yang lain. Mereka lalu bersepakat untuk
menyingkirkan Biding Laut.
Suatu ketika, saudara-saudaranya menghadap ayahnya untuk
mengajak Biding Laut jalan-jalan ke tepi pantai Sibolga. Permintaan itu
sebenarnya ditolak Guru Tatea Bulan, mengingat Biding Laut adalah putri kesayangannya.
Tapi saudara-saudaranya itu mendesak terus keinginannya, sehingga sang ayah pun
akhirnya tidak dapat menolaknya.
Suatu hari, Biding Laut diajak saudara-saudaranya
berjalan-jalan ke daerah Sibolga. Dari tepi pantai Sibolga, mereka lalu
menggunakan 2 buah perahu menuju ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Marsala,
dekat Pulau Nias.
Tiba di Pulau Marsala, mereka berjalan-jalan sambil
menikmati keindahan pulau yang tidak mengetahui niat tersembunyi
saudara-saudaranya yang hendak mencelakakannya. Biding Laut hanya mengikuti
saja kemauan saudara-saudaranya berjalan semakin menjauh dari pantai.
Menjelang tengah hari, Biding Laut merasa lelah hingga dia
pun beristirahat dan tertidur. Dia sama sekali tidak menduga ketika dirinya
sedang lengah, kesempatan itu lalu dimanfaatkan saudara-saudaranya meninggalkan
Biding Laut sendirian di pulau itu.
Di pantai, saudara-saudara Biding Laut sudah siap
menggunakan 2 buah perahu untuk kembali ke Sibolga. Tetapi salah satu seorang
saudaranya mengusulkan agar sebuah perahu ditinggalkan saja. Dia khawatir kalau
kedua perahu itu tiba di Sibolga akan menimbulkan kecurigaan. Lebih baik satu
saja yang dibawa, sehingga apabila ada yang menanyakan dikatakan sebuah
perahunya tenggelam dengan memakan korban Biding Laut.
Tapi apa yang direncanakan saudara-saudaranya itu bukanlah
menjadi kenyataan, karena takdir menentukan lain. Ketika terbangun dari
tidurnya, Biding Laut terkejut menemukan dirinya sendirian di Pulau Marsala.
Dia pun berlari menuju pantai mencoba menemui saudara-saudaranya. Tetapi tidak
ada yang dilihatnya, kecuali sebuah perahu. Biding Laut tidak mengerti mengapa
dirinya ditinggalkan seorang diri. Tetapi ia pun tidak berpikiran
saudara-saudaranya berusaha mencelakakannya. Tanpa pikir panjang, dia langsung
menaiki perahu itu dan mengayuhnya menuju pantai Sibolga.
Tetapi ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah
kelahirannya. Selama beberapa hari perahunya terombang-ombang di pantai barat
Sumatera. Entah sudah berapa kali ia pingsan karena kelaparan dan udara terik.
Penderitaannya berakhir ketika perahunya terdampar di Tanah Jawa, sekitar
daerah Banten.
Seorang nelayan yang kebetulan melihatnya kemudian menolong
Biding Laut. Di rumah barunya itu, Biding Laut mendapat perawatan yang baik.
Biding Laut merasa bahagia berada bersama keluarga barunya itu. Dia mendapat
perlakuan yang sewajarnya. Dalam sekejap, keberadaannya di desa itu menjadi
buah bibir masyarakat, terutama karena pesona kecantikannya.
Dikisahkan, pada suatu ketika daerah itu kedatangan seorang
raja dari wilayah Jawa Timur. Ketika sedang beristirahat dalam perjalanannya,
lewatlah seorang gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan
menarik perhatian Sang Raja. Karena tertariknya, Sang Raja mencari tahu sosok
jelita itu yang ternyata Biding Laut. Terpesona kecantikan Biding Laut, sang
raja pun meminangnya.
Biding Laut tidak menolak menolak pinangan itu, hingga
keduanya pun menikah. Selanjutnya Biding Laut dibawanya serta ke sebuah
kerajaan di Jawa Timur.
Biding Laut hidup berbahagia bersama suaminya yang menjadi
raja. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Terjadi intrik di dalam
istana yang menuduh Biding Laut berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum
kerajaan pun ditetapkan, Biding Laut harus dihukum mati.
Keadaan ini menimbulkan kegalauan Sang Raja. Ia tidak ingin
istri yang sangat dicintainya itu di hukum mati, sementara hukum harus
ditegakkan. Dalam situasi ini, dia lalu mengatur siasat untuk mengirim kembali
Biding Laut ke Banten melalui lautan.
Menggunakan perahu, Biding Laut dan beberapa pengawal raja
berangkat menuju Banten. Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang dikenal
dengan laut selatan. Namun malang nasib mereka. Dalam perjalanan itu, perahu
mereka tenggelam diterjang badai. Biding Laut dan beberapa pengawalnya
tenggelam di Laut Selatan.
Artikel yang sangat menarik,terimakasih
ReplyDelete